Sabtu, 19 Desember 2009

Cerpen

Cerpen

PERTEMUAN PERTAMA

Akhirnya hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Hari ini aku akan bertemu seseorang yang selama ini menjadi pujaan hatiku, walau dia selama ini hanyalah sahabat penaku, yang belum pernah kulihat bagaimana wajahnya. Tapi dari surat-suratnya, terbayang dibenakku wajahnya yang begitu tampan mempesona bak cowok idola. Ah...jadi deg-degan neh...
Dengan langkah pasti, kulangkahkan kakiku memasuki kawasan Amplaz (Ambarukmo Plaza). Di tempat inilah aku berjanji untuk bertemu dengan Andika, sahabat penaku.. Setelah sampai di tempat yang kami sepakati, aku memperhatikan pemandangan di depanku dengan seksama. Kuperhatikan satu per satu pengunjung di sana. Kaos biru...celana hitam. Di mana dia...?
Hey...akhirnya aku melihatnya. Itukah dia? Seorang cowok dengan kaos oblong biru murahan dipadu jean hitam dengan jahitan benang merah. Tinggi sekitar 165 cm dengan badan sedikit gempal, bersandar pada salah satu sisi etalase.
Jarak yang hanya beberapa meter membuatku leluasa untuk memperhatikan raut mukanya. Wajahnya bulat, hidungnya cenderung tidak mancung dan sebuah hiasan tahi lalat di atas bibirnya. Kulitnya yang putih tidak mampu mengatrol penampilannya. Ah...ternyata kamu biasa-biasa aja Dik..,jauh dari gambaran cowok idola.
Dengan buru-buru, aku keluar dari ambarukmo plaza. Kupercepat langkahku menuju area parkir. Dengan cepat kupacu “Mio”ku. Jarum pada speedometer menunjukkan angka 80, ini pun gasnya terus kutambah. Aku takut kalau Andika memergokiku. Kaos biru dan celana hitam yang kukenakan cukup untuk membuat Andika mengenaliku.
Akhirnya aku sampai di rumah. Kuparkir motorku di garasi, kemudian kuterobos pintu rumahku. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Papa dan Mama pasti masih di kantor. Kakak-kakakku mungkin masih asyik di kampus, sedangkan si bungsu mungkin bermain bersama teman-temannya. Hanya Bi Asih yang menyambut kedatanganku.
Kutuang sirup dan air es ke dalam gelas. Kuteguk dengan sekali teguk. Glek. Rasa segar segera menjalari kerongkonganku, cukup untuk sedikit menyejukkan hatiku yang kesal. Kulirik jam tanganku, pukul dua lebih lima menit. Barangkali tidur satu atau dua jam cukup untuk menenangkan kekesalanku ini.
Baru saja aku akan memejamkan mata, pintu kamarku ada yang mengetuk.
”Neng, ada temannya,” suara Bi Asih hati-hati.
Siapa lagi yang datang siang-siang gini? Ganggu orang mau tidur aja! Meski begitu, kubenahi juga dandananku. Kusisir rambutku, kubenahi kaos biruku.
Kulihat seorang pemuda duduk tertunduk. Wajahnya ditekuk dalam-dalam di ruang tamu. Kaos oblong biru dan jean hitam mengingatkanku pada pemuda yang membuatku terpaksa buru-buru pergi dari Amplaz tadi. Andikakah Dia? Kalau iya, nekat betul dia.
Aku menghentikan langkahku. Bimbang, mau kutemui atau tidak. kalau kutemui, pasti hanya akan menambah rasa kesal dan kecewaku. Tidak kutemui, kasihan dia. Jauh-jauh dari Semarang hanya untuk menemuiku. Lagian, mana tanggung jawabku terhadap perjanjian yang telah kuucapkan? Aku yang memaksa untuk bertemu, apakah pantas bila justru aku yang tak mau menemuinya?


Akhirnya, kumantapkan kakiku untuk menemuinya. Aku harus mengenalkan diri, akulah sahabat pena yang dia cari.
”Hai...!” sapaku seramah mungkin walau agak terpaksa, yang membuat Andika yang sedang menekuri ubin sepertinya terkejut.
”Vina ya?” balasnya yakin banget.
”Iya, kamu pasti Andika kan?” Jawabku tak kalah yakinnya, sambil kutebarkan senyum tipis.
Kami bersalaman. Dalam hati, aku berjanji ini adalah pertemuan pertama sekaligus yang terakhir dengannya. Setelah ini, aku tak mau lagi bertemu dengannya. Dandanannya yang kampungan dan norak menjadi satu-satunya alasan bagiku untuk tidak mengenalnya lagi.Wajah Andika terlihat pucat, tangannya juga tadi dingin seolah-olah tidak dialiri darah. Mungkin dia grogi atau minder setelah tahu sahabat penanya mirip cover girl, he...he...
Memang, sepsertinya wajahku lumayan, nggak jelek-jelek amat lah. Buktinya banyak cowok yang menyatakan cintanya padaku, walau tak ada satupun yang kutanggapi. Karena pada saat itu aku telah jatuh cinta pada sosok Andika, sahabat penaku. Memang aneh. Belum pernah tahu sosok orangnya tapi telah berani meyakini kalau aku jatuh cinta padanya. Padahal Dika tak pernah mengusik tentang cinta dalam surat-suratnya. Kata-katanya juga jauh dari romantis, hanya penawaran persahabatan. Mungkin aku saja yang kelewat berharap.
Ketertarikanku pada Andika kusimpan sendiri, tidak kuceritakan pada siapapun, termasuk pada Yuni, sahabat terdekatku. Tidak juga pada penghuni rumah. Dari surat-suratnya yang begitu segar dan lincah, aku sangat yakin kalau Andika orangnya supel, cool, funky, dan berwawasan luas sehingga pantas menjadi cowokku. Andika kubayangkan bertubuh atletis, hidungnya mancung, tampan, dan cuku menyenangkan. Dengan angan-anganku yang seperti itu aku yakin Andika memenuhi kriteria cowokku.
Tapi, ternyata mimpiku harus hancur lebur setelah aku melihat sosok Andika yang sebenarnya. Sekarang di depan mataku hadir sesosok tubuh yang sangat jauh dari gambaran yang selama ini kuimpikan. Andika jauh lebih sederhana dibandingkan cowok-cowok yang menyatakan cintanya padaku, baik itu Rexi, Donny, maupun Angga. Andika malah justru mirip Dono, teman sekelasku yang sering dijuluki pemuda gunung oleh teman-temanku, karena wajahnya begitu ”ndeso” dan lugu.
”Vina, aku tahu kamu pasti kecewa dengan pertemuan ini. Selama ini pasti kamu membayangkan aku cowok ganteng, gagah, atau kaya. Tapi bayanganmu meleset, aku tak lebih dari cowok kampung, anak gunung” ujar Andika.
”Aku tahu apa yang sedang kamu pikirankan. Aku bisa melihat jiwamu. Kamu gelisah dan kecewa melihat keadaanku, yang ternyata jauh dari perkiraanmu,” Andika berujar dengan dingon.
I ”vina, akun datang dari jauh hanya mamanuhii janjiku. Surat terakhirmu maminta kita bertemu langsung, dan aku menyanggupinya. Seperti yang teteera dalam surat itu, kita harus ketemu di lantai dasar. Mulanya aku ragu, akankah kedatanganku kau sambut hanyat, sepsrti kedatangan suratku yang selalu kau cium berkali-kali.” Suara Andika terdengar saup-sayup dan dingin, membuat jantungkun bergetar.
Mulutku jadi terkunci. Kembali keheranan menyrergapnya. Dari mana dia tahu kalau surat-suratnya selalau kucium, sembari kubayangkan wajah Andika yang... ehm!
”Kepenasaranmu yang sebesar gunung untuk segera bertemu, dan atas kesepakatan bersama, maka kukorbankan jam sekolahku. Hari ini aku bolos. Dengan bus tadi pagi, aku meninggalkan Semarang, tanpa pamit kepada bapak ibun dan teman-temanku. Aku datang ke jogja hanya untuk memenuhi janjiku. Tepat jam satu, aku berdiri di tempat yang telah kita sepakati. Aku tahu kita janji ketemu jam setengah dua, tapi dari pada telat jadi aku lebih milih untuk datang lebih awal agar kau ajngan sampai menungguku, karena aku tak mau mengecewakan sahabatku. Pukul setengah dua, kamu datang. Baju kita sama, biru hitam. Itu adalah dirimu yang meminta, agar kita bisa dengan mudah saling mengenali. Aku gembira sekali dengan kedatanganmu,. Tapi aku sedih ketika kita bertatapan, kamu malah memperhatikan sekujur tubvuhku, dari ubunb-ubun hingga ujung kakiku. Kemudian matamu meneliti wajahku. Kamu perhatikan dengan seksama, sembari berharap kalau-kalau ada yang bisa ditonjolkan. Setelah menurutmu tidak ada yang menarik dari wajahku, cepat sekali kau memalingkan kepalamu, pergi dengan seribu langkah. Seperti pencuri yang takut ketahuan setelah menjalankan aksinya,” pidatonya yang panjang membuat kupingku serasa terbakar.
”Vina, aku mengakui wajah tampan atau penampilan yang keren cukup besar peranannya ketika jumpa pertama kali. Namun, kita jangan hanya terpaku pada hal yang satu ini. Sebab kecantikan atau ketampanan bisa menjerumuskan kita pada suatu persahabatan yang terlalu dipaksakan. Gara-gara wajahku jelek, kamu tidak mau meneruskan persahabatan denganku. Kamu menilai suatu persahabatan dengan menimbang kadar kebaikan atau keburukan, hanya dari penampilan luarnya saja. Meski kamu tidak tahu warna jiwaku, ternyata kamu sudah memberi ultimatum bahwa aku tak pantas jadi sahabatmu,” Kata-kata Andika begitu menusuk jantungku.
Aku tak mampu menatap wajahnya, bahkan untuk mengangkat kepala pun aku tak sanggup. Serasa ribuan ton besi menggelayut di kepalaku. Lalu, kudengar Andika mendesah.
”Hanya itu kata-kata terakhir yang kusampaikan. Aku cukup tahu diri untuk tidak menjadi sahabatmu lagi. Aku pulang skarang,” tandas Andika.
Kepergian Andika membuatku banyak merenungi kata yang terluncur dari mulutnya. Memang benar semua yang diucapkan Andika. Aku memang seringkali mengukur segala sesuatu dari penampilan luarnya saja.
Hanya mengandalkan sosok luar, aku begitu tega menyia-nyiakan kedatangan Andika. Padahal Andika punya kelebihan, yaitu wawasannya luas.
Andika, maafkan aku..! Nanti malam akan kutulis lagi surat untukmu, bahwa aku tetap sahabatmu. Terima kasih untuk cercaanmu, terima kasih karena kau telah menyadarkanku. Akan kujadikan ini sebagai pelajaran dalam hidupku. Akan kuundang lagi dirimu untuk pertemuan yang kedua. Ah..,terasa hatiku begitu tenang.
Pagi ini, aku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah rencananya aku akan mampir kantor pos untuk mengeposkan suratku yang kutulis tadi malam pada Andika. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, pukul 6.20. Masih ada waktu 10 menit untuk membaca koran dulu. Kuambil koran Kedaulatan Rakyat. Kujelajahi huruf-huruf yang tertera di halaman muka. Tidak ada berita yang menarik. Kubuka halaman yang kedua, ada berita perampokan, ada berita pengangkatan pejabat, ada berita tentang ibu-ibu Dharma Wanita, dan ada berita tentang kecelakaan lalu lintas.
Aku tertarik untuk membaca berita tentang kecelakaan lalu lintas. Kupelototkan mataku untuk membaca berita kecelakaan lalu lintas.
...seorang pemuda, diketahui bernama Andika Saputra (18), penduduk Semarang menjadi korban tabrak lari. Ia tewas seketika kemarin sore sekitar pukul 14.00 WIB. Tubuhnya nyaris hancur setelah dihantam truk bernopol...
Tak kuselesaikan berita itu. Andikakah yang jadi korban tabrak lari itu? Pukul dua dia tertabrak dan tewas seketika. Padahal beberapa menit setelah itu ia hadir di sini. Jadi yang datang ke rumah adalah...Bulu kudukku berdiri dan aku merasakan ketakutan yang amat sangat sebelum pada akhirnya pandanganku kabur. Lalu...tiba-tiba semua gelap. Gelap...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar